11 Juli 2013

Feel so failed that day

Dulu, ditempat kerja yang lama sewaktu saia masih di Batam, jabatan yang saia pegang tidak hanya berkutat dengan paper work atau hal2 yang berbau administrasi tetapi juga pekerjaan praktis, yang menuntut saia untuk terjun secara langsung ke lapangan untuk meninjau suatu proyek. Bukan, bukan suatu proyek yang besar dan maha dahsyat. Hanya proyek kecil yang berdurasi paling lama 1 bulanan. Saia tidak akan menyebutnya sebagai sesuatu yang ecek-ecek dan siprriillll. Segala sesuatu yang namanya tanggung jawab itu harus dilakukan sebaik mungkin, tidak peduli besar atau kecilnya tanggung jawab tersebut. 

3 bulan pertama, saia berusaha keras untuk beradaptasi dengan ritme kerja, alur administrasi sampai ke pergaulan sosial. Hasilnya? Sukses. Saia berhasil berdaptasi dengan ritme kerja, mengerti dan memahami alur administrasi suatu proyek sampai diterimanya saia di lingkup pergaulan sosial dengan rekan2 kerja disana. Hasil adaptasi tersebut saia nikmati sampai 2 bulan kemudian. Hingga akhirnya sampai di titik jenuh. Bulan ke-6, saia berpikir untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat saia yang tadinya “kelas 12” menjadi “kelas 13”. Dan ini cara saia untuk lepas dari belenggu kejenuhan. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk saia “naik kelas”. Di bulan ke-7, saia sudah dinyatakan naik ke “kelas 13”. Dengan apa? Tentunya dengan berinovasi, menciptakan sesuatu yang baru. Ritme kerja yang selama ini adem ayem, saia buat menjadi dinamis. Saia membuat rekan kerja dan pimpinan tidak menganggap remeh posisi ini. Ya, dulunya posisi ini bisa dibilang posisi yang “cemen”, karena memang kalau saia pikir sih orang2 terdahulu tidak capable untuk berada diposisi ini. Ruang lingkup kerja saia perluas, tidak hanya menerima data mentah dari lapangan, tapi saia juga harus nyebur dan mengobservasi keadaan di lapangan dengan mata kepala saia sendiri untuk kemudian mengolah data itu sehingga dapat diproses untuk diuangkan. 

Tidak hanya ritme kerja yang saia jadikan dinamis, tapi juga alur administrasi yang tadinya berbelit dan terlalu banyak kepala yang terlibat dalam proyek “kecil” itu, saia pangkas. Ringkas dan cepat. Semua yang sekiranya bisa saia handle sendiri, akan saia kerjakan dg mandiri, tanpa perlu menunggu hasil pekerjaan orang lain. 

Berada di “kelas 13” membuat orang sekitar merasa aware dengan keberadaan “posisi” saia. Yang dulunya menganggap siapa saja bisa menjadi di posisi ini, sepertinya sekarang tidak lagi. Karena standard yang sudah saia pasang untuk posisi tersebut tidaklah main2. Baik itu standard gaji maupun standard calon karyawannya sendiri. 

Sampai di suatu saat, tepat di bulan 12, di bulan yang sama setahun kemudian saia memutuskan untuk menyudahi belajar di “sekolah” ini. Jenuh? Tidak sepenuhnya karena itu. Tetapi lebih karena saia harus “naik kelas” lagi. Di sekolah yang ini, kelas yang ada untuk saia ternyata mentok do “kelas 13”, tidak bisa naik kelas lagi. Hufffttt, ya sudah, solusinya saia harus mencari sekolah lain yang menawarkan “kelas 14”. Dan disinilah saia sekarang. Masuk ke “kelas 14”. Sudah memasuki bulan ke 5, dan saia masih di fase adaptasi. Agak lama memang. Sepertinya saia harus menyusun ulang strategi “belajar”. Strategi lama terlalu usang untuk digunakan disini.

Hari ini, saia merasa gagal. Persiapan belajar saia tidak matang. Kurang belajar, kurang observasi, kurang data dan evidence, kurang confidence, terlalu takut salah, dan tidak bisa me-manage waktu.
Ujian satu semester saia bekerja diposisi ini akan dimulai. Kesuksesan di mid semester kemarin, ternyata masih belum ada apa2nya. Besok, saya akan ada proyek “kecil” lagi. Meski agak gagal di persiapan awal hari ini, tapi pimpinan saia masih mempercayakan proyek “kecil” ini menjadi milik saia. Meskipun masih di-guide oleh senior saia, tapi tak apa, belajar itu bukan berakhir di berapa nilai akhirnya, tapi lebih ke kecepatan proses belajar itu sendiri. Tak apa gagal di persiapan hari ini, tapi besok, jangan lagi ada kata gagal.